Mereka berangkat dengan harapan. Tapi pulang hanya dengan luka, trauma, atau peti jenazah.
Inilah kisah nyata yang terus terulang, namun jarang terdengar: derita para buruh migran Indonesia di luar negeri.
Saat keluarga di kampung menunggu kabar baik, kenyataan di negeri orang justru penuh penyiksaan, pengkhianatan, dan air mata yang tak terlihat.
Bukan Cerita Lama: Kisah Pilu Itu Masih Terjadi Hari Ini
Dari tahun ke tahun, laporan tentang penyiksaan, eksploitasi, pelecehan, hingga perbudakan modern terhadap buruh migran terus bermunculan:
-
Seorang TKW di Arab Saudi disekap dan dipaksa bekerja 20 jam sehari tanpa gaji
-
Buruh migran di Malaysia ditangkap karena dokumen kerja tidak lengkap—padahal korban penipuan agen
-
TKI di Hong Kong dianiaya majikan, namun tak bisa kabur karena paspor ditahan
“Saya hanya ingin kerja untuk anak sekolah. Tapi saya malah disiksa, tidak digaji, dan dituduh mencuri,” kata Nur (nama disamarkan), korban kekerasan di Timur Tengah.
Pahlawan Devisa yang Diperlakukan Seperti Budak
Kita menyebut mereka pahlawan devisa, karena kontribusinya pada ekonomi negara lewat remitansi.
Namun mengapa perlindungan untuk mereka begitu minim?
Mengapa negara seolah tak benar-benar hadir ketika mereka dihina, dipukuli, bahkan dibunuh di negeri orang?
Ribuan buruh migran ditahan, ratusan disiksa, puluhan meninggal—namun berita itu hanya muncul sejenak, lalu hilang.
Modus dan Masalah: Dari Agen Nakal Sampai Pembiaran Negara
Permasalahan utama yang terus berulang:
-
Agen tenaga kerja ilegal yang menipu dan mengirim tanpa pelatihan
-
Paspor ditahan majikan, buruh tak bisa melapor atau pulang
-
Kontrak kerja dilanggar, gaji dipotong seenaknya
-
Minimnya pendampingan hukum dan perlindungan dari KBRI
“Kami hanya dijemput saat sudah luka parah, atau saat kami mati,” keluh keluarga buruh migran asal Nusa Tenggara Timur.
Keluarga Menanti dalam Sunyi: Tak Tahu Derita di Balik Jeruji
Di desa-desa terpencil, banyak orang tua menanti kabar anaknya dengan harap-harap cemas.
Mereka bangga anaknya kerja di luar negeri. Tapi mereka tidak tahu, bahwa anak yang mereka banggakan sedang tidur di lantai tanpa kasur, makan sisa makanan, dan menangis dalam diam.
“Apa kabar, Nak?”
Sebuah pertanyaan sederhana, tapi tak semua buruh migran bisa menjawab—karena mereka bahkan tak diberi akses komunikasi.
Apa Yang Telah dan Belum Dilakukan Negara?
Pemerintah memang telah membuat:
-
Layanan pengaduan di BP2MI
-
Perjanjian bilateral untuk perlindungan buruh migran
-
Program edukasi sebelum keberangkatan
Namun di lapangan, praktik kejam tetap terjadi. Banyak korban tidak tahu harus mengadu ke mana, dan banyak yang takut bicara karena ancaman dari majikan atau agen.
Saatnya Bangun Kesadaran Nasional: Mereka Juga Warga Negara
Buruh migran bukan hanya angka atau sumber uang. Mereka adalah manusia—ayah, ibu, anak, saudara—yang punya hak hidup, hak aman, dan hak bermartabat.
Jika negara ingin disebut adil, maka:
-
Lindungi mereka dari perekrutan ilegal
-
Berikan edukasi hukum dan bahasa
-
Sediakan jalur darurat perlindungan 24 jam
-
Hukum tegas para agen dan majikan pelanggar HAM
Jangan Biarkan Air Mata Itu Menetes Tanpa Suara
Kita mungkin hidup nyaman di rumah, tapi mereka hidup di negara asing dengan rasa takut.
Mereka bukan hanya tulang punggung ekonomi, tapi jiwa-jiwa yang tersakiti karena sistem yang belum sepenuhnya peduli.
Sudah saatnya kita lebih dari sekadar bangga pada ‘pahlawan devisa’. Kita harus bertanya: apakah kita sudah benar-benar menjaga mereka?